Hukuman Rajam dalam Islam: Pengertian, Sejarah, dan Kontroversi
Hukuman rajam, atau dalam istilah Arab disebut al-rajm, adalah metode eksekusi dengan cara dilempari batu hingga mati. Hukuman ini dijatuhkan dalam beberapa konteks hukum pidana Islam (syariah), khususnya dalam kasus zina (perzinaan), terutama jika pelaku telah menikah dan melakukan perzinaan secara sukarela (adulterous fornication). Hukuman ini memiliki dasar dalam teks-teks hukum klasik Islam, meskipun penerapannya dalam sejarah dan zaman modern menjadi topik yang sangat kontroversial dan diperdebatkan di kalangan ulama dan masyarakat Muslim.
Sumber dan Landasan Hukum
Hukuman rajam untuk zina tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tetapi terdapat dalam hadits—perkataan, tindakan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Hukuman bagi zina secara umum disebutkan dalam Al-Qur'an dalam Surah An-Nur ayat 2, yang menyatakan bahwa hukuman bagi pezina (baik laki-laki maupun perempuan) adalah cambukan seratus kali, tanpa ada perbedaan antara mereka yang sudah menikah atau belum.
Namun, rajam sebagai hukuman bagi pezina yang sudah menikah didasarkan pada sejumlah hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadits yang paling sering dikutip terkait hukuman rajam adalah riwayat dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, di mana Nabi disebut telah memerintahkan rajam terhadap beberapa orang yang mengaku berzina, seperti pada kasus seorang wanita dari suku Ghamidiyah yang secara sukarela mengaku berzina dan meminta hukuman.
Contoh hadits yang mendasari hukuman ini adalah:
- Diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, yang mengatakan bahwa ayat rajam (yang dikenal sebagai ayat rajm) dulunya ada di dalam Al-Qur'an, tetapi kemudian ayat tersebut hilang atau terlupakan, meskipun hukuman itu tetap berlaku.
- Diriwayatkan dari Sahih Muslim, bahwa Nabi Muhammad memerintahkan rajam kepada orang-orang yang mengaku melakukan zina secara sukarela.
Syarat Penerapan Hukuman Rajam
Penerapan hukuman rajam dalam hukum Islam memiliki syarat yang sangat ketat dan sulit dipenuhi. Beberapa syarat tersebut antara lain:
- Pelaku harus sudah menikah: Hukuman rajam hanya diterapkan kepada pelaku zina yang sudah menikah dan dianggap melanggar kesucian pernikahan.
- Pengakuan sukarela: Pelaku harus secara sukarela mengakui bahwa dia telah berzina. Jika pengakuan itu ditarik kembali, hukuman dapat dibatalkan.
- Saksi-saksi yang sah: Jika tidak ada pengakuan, empat saksi mata yang adil dan dapat dipercaya harus melihat perbuatan zina tersebut secara langsung. Syarat ini hampir mustahil dipenuhi dalam kebanyakan kasus.
- Perlindungan terhadap keraguan: Dalam hukum Islam, dikenal prinsip dar’ul hudud—yang artinya hukuman hudud (termasuk rajam) tidak boleh dijatuhkan jika ada keraguan. Bahkan sedikit keraguan mengenai bukti atau motif sudah cukup untuk membatalkan penerapan hukuman tersebut.
Perdebatan dan Kontroversi
Hukuman rajam dalam Islam menimbulkan perdebatan panjang di kalangan para ulama dan pakar hukum Islam. Ada beberapa poin utama yang menjadi perdebatan:
Keselarasan dengan Al-Qur'an: Seperti yang disebutkan sebelumnya, Al-Qur'an hanya menyebutkan hukuman cambuk bagi pelaku zina. Beberapa ulama dan sarjana modern berpendapat bahwa hadits tentang hukuman rajam harus dipahami dalam konteks tertentu atau dianggap tidak relevan, karena hukuman tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.
Sejarah penerapan: Dalam sejarah Islam awal, hukuman rajam memang dilaksanakan, seperti yang terjadi di masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Namun, selama berabad-abad, penerapannya di banyak masyarakat Muslim mengalami penurunan, terutama karena syarat-syarat yang sangat ketat dan kompleks untuk membuktikan zina.
Isu hak asasi manusia: Dalam zaman modern, hukuman rajam sering dikritik keras oleh komunitas internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Di beberapa negara Muslim, seperti Iran, Arab Saudi, dan Nigeria, hukuman ini masih ada dalam undang-undang, meskipun penerapannya semakin jarang. Banyak sarjana Muslim kontemporer berargumen bahwa hukuman ini tidak lagi relevan dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan modern.
Pandangan ulama modern: Beberapa ulama dan pemikir Islam modern, seperti Yusuf al-Qaradawi dan Tariq Ramadan, telah menyerukan moratorium atau peninjauan kembali penerapan hukuman rajam dalam konteks hukum Islam saat ini. Mereka berpendapat bahwa hukum harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi masyarakat.
Negara-Negara yang Menerapkan Rajam
Saat ini, hukuman rajam masih secara resmi tercantum dalam sistem hukum pidana di beberapa negara yang menerapkan syariah Islam secara ketat, seperti:
- Iran: Hukuman rajam diterapkan terutama dalam kasus perzinaan, meskipun penerapannya sangat kontroversial dan menghadapi kritik internasional.
- Arab Saudi: Rajam adalah salah satu hukuman yang dapat dijatuhkan dalam kasus zina, tetapi sangat jarang dilaksanakan.
- Nigeria (wilayah utara): Di beberapa wilayah Nigeria yang menerapkan hukum syariah, hukuman rajam pernah dijatuhkan, meskipun sering kali dibatalkan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Hukuman rajam dalam Islam adalah salah satu hukuman hudud yang sangat ketat syarat penerapannya. Meskipun hukuman ini memiliki dasar dalam hadits dan diterapkan dalam sejarah Islam, penggunaannya di zaman modern sangat diperdebatkan, baik dari segi hukum Islam maupun hak asasi manusia. Sebagian besar masyarakat Muslim di dunia saat ini tidak lagi menerapkan hukuman ini, dan semakin banyak ulama serta pemikir Islam yang mendesak agar hukuman tersebut ditinjau kembali atau dihentikan sepenuhnya.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir, teman-teman.
Sampai baca lagi di lain tulisan!
Referensi:
- Saeed, Abdullah. Islamic Thought: An Introduction. Routledge, 2006.
- Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.
- Abou El Fadl, Khaled. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. HarperOne, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kolom Kritik dan Saran: