Senin, 21 April 2025

Learned Helplessness. Kita Pengidapnya?

Learned Helplessness: Ketika Ketidakberdayaan Menjadi Kebiasaan

Pendahuluan

Pernahkah Anda merasa tidak mampu mengubah keadaan, bahkan setelah peluang untuk memperbaikinya sebenarnya ada? Atau merasa seolah-olah apapun yang Anda lakukan tidak akan berdampak pada hasil akhirnya? Fenomena psikologis ini dikenal sebagai learned helplessness, atau dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai ketidakberdayaan yang dipelajari.

Konsep ini bukan sekadar istilah akademis—learned helplessness berkaitan erat dengan depresi, kecemasan, burnout, trauma, dan bahkan performa kerja atau prestasi belajar seseorang. Dalam artikel ini, kita akan mengupas secara panjang, jelas, lengkap, rinci, dan komprehensif apa itu learned helplessness, bagaimana terjadinya, dampaknya dalam kehidupan nyata, serta bagaimana mengatasinya.


Apa Itu Learned Helplessness?

Learned helplessness adalah kondisi psikologis di mana seseorang belajar untuk tidak berusaha lagi, karena ia merasa bahwa segala usaha tidak akan mengubah situasi. Artinya, mereka menyerah secara mental setelah serangkaian pengalaman kegagalan, meskipun sebenarnya ada kesempatan untuk berhasil.

Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh psikolog Martin Seligman dan Steven Maier pada akhir 1960-an melalui serangkaian eksperimen pada hewan.


Asal Usul: Eksperimen Seligman dan Maier

Dalam eksperimen klasiknya, Seligman dan Maier menempatkan dua kelompok anjing dalam situasi berbeda:

  1. Kelompok A dapat menghentikan kejutan listrik dengan menekan tuas.

  2. Kelompok B menerima kejutan yang sama, tapi tidak memiliki kontrol untuk menghentikannya.

  3. Kemudian kedua kelompok diletakkan dalam kotak baru di mana mereka bisa menghindari kejutan dengan melompat ke sisi lain.

Hasilnya mengejutkan:
Kelompok A belajar untuk menghindari kejutan, sementara kelompok B diam pasrah dan tidak berusaha melompat sama sekali, meskipun bisa. Mereka telah belajar bahwa apapun yang dilakukan tidak akan mengubah situasi.

Eksperimen ini membuka mata dunia psikologi tentang pengaruh pengalaman buruk terhadap persepsi dan motivasi.

🧠 “Learned helplessness is the giving-up reaction, the quitting response that follows from the belief that whatever you do doesn't matter.”
— Martin Seligman, "Learned Optimism" (1991)


Bagaimana Learned Helplessness Terbentuk pada Manusia?

Sama seperti pada hewan, manusia juga bisa mengalami learned helplessness ketika:

  • Menghadapi kegagalan berulang (misalnya, gagal dalam ujian meskipun sudah belajar keras).

  • Tertindas dalam hubungan atau lingkungan kerja (contoh: terus-menerus diabaikan atau dihina).

  • Mengalami trauma atau kekerasan (anak-anak korban kekerasan bisa belajar untuk diam dan tidak melawan).

  • Berada dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk pilihan (contoh: birokrasi yang menindas, kemiskinan sistemik).

Akhirnya, orang yang mengalami kondisi ini berpikir bahwa tidak ada gunanya mencoba, dan akan berhenti mengambil inisiatif, meskipun peluang untuk perubahan ada di depan mata.


Ciri-ciri Orang yang Mengalami Learned Helplessness

  1. Pasif: Tidak mengambil tindakan atau inisiatif bahkan saat ada solusi.

  2. Pesimis: Selalu berpikir bahwa hasilnya akan buruk atau gagal.

  3. Kurang motivasi: Tidak punya dorongan untuk mencoba hal baru atau menyelesaikan tugas.

  4. Menurunnya performa: Baik dalam akademik, pekerjaan, maupun hubungan sosial.

  5. Depresi dan kecemasan: Merasa tidak berdaya dan tidak berguna secara emosional.


Dampak dalam Kehidupan Nyata

1. Pendidikan

Siswa yang terus-menerus gagal atau mendapat perlakuan buruk dari guru/orang tua bisa percaya bahwa belajar tidak ada gunanya. Akibatnya, prestasi menurun drastis.

2. Hubungan

Korban kekerasan dalam rumah tangga sering menunjukkan learned helplessness. Mereka bisa percaya bahwa tidak ada jalan keluar, bahkan ketika bantuan tersedia.

3. Pekerjaan

Karyawan yang terus-menerus dikritik atau tidak diberi penghargaan cenderung berhenti berinovasi dan menjadi tidak produktif.

4. Kesehatan Mental

Berkaitan erat dengan depresi klinis, PTSD, dan kecemasan. Individu merasa hidupnya tidak punya kendali, dan ini memperparah kondisi psikologis mereka.


Perbedaan Learned Helplessness vs. Keputusasaan Biasa

AspekKeputusasaan SementaraLearned Helplessness
DurasiSementaraJangka panjang
PemicuSatu kejadianPengalaman berulang
Keyakinan DiriMasih bisa pulihTidak percaya diri sama sekali
UsahaMasih mencobaTidak mencoba lagi

Bagaimana Mengatasi Learned Helplessness?

1. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT)

CBT membantu individu mengidentifikasi dan mengganti pikiran negatif dengan keyakinan yang lebih sehat. Pendekatan ini sangat efektif untuk mengembalikan rasa kendali.

2. Menumbuhkan "Learned Optimism"

Martin Seligman, penemu konsep learned helplessness, kemudian mengembangkan ide learned optimism: keyakinan bahwa kita bisa belajar untuk berpikir positif dan proaktif.

3. Lingkungan yang Mendukung

Lingkungan sosial yang memberi dukungan, validasi, dan dorongan sangat penting untuk pemulihan. Ini bisa berupa teman, keluarga, guru, atau terapis.

4. Pengalaman Keberhasilan Kecil

Mendorong individu untuk melakukan hal-hal sederhana yang bisa berhasil akan mengembalikan kepercayaan diri dan rasa kontrol.

5. Membangun Growth Mindset

Seperti dikembangkan oleh Carol Dweck, mindset berkembang membantu individu memahami bahwa kegagalan bukan akhir, tapi bagian dari proses belajar.


Kesimpulan

Learned helplessness adalah kondisi psikologis serius yang dapat merusak kualitas hidup seseorang. Berasal dari pengalaman kegagalan berulang, kondisi ini membuat individu percaya bahwa mereka tidak punya kontrol atas nasib mereka sendiri.

Namun, dengan pemahaman yang tepat, dukungan sosial, dan pendekatan terapeutik yang sesuai, learned helplessness bisa diatasi, bahkan diubah menjadi kekuatan melalui learned optimism dan growth mindset.


Referensi

  1. Seligman, M. E. P., & Maier, S. F. (1967). Failure to escape traumatic shock. Journal of Experimental Psychology.

  2. Seligman, M. E. P. (1991). Learned Optimism. New York: Knopf.

  3. Peterson, C., Maier, S. F., & Seligman, M. E. (1993). Learned Helplessness: A Theory for the Age of Personal Control. Oxford University Press.

  4. American Psychological Association. (2023). apa.org/topics/learned-helplessness

  5. Cherry, K. (2022). What Is Learned Helplessness? Verywell Mind. verywellmind.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kolom Kritik dan Saran:

Bagaimana Cara Kereta Putar Balik?

  Turntable Kereta Api: Inovasi dalam Pemeliharaan dan Pengoperasian Kereta Api Pendahuluan Turntable kereta api adalah salah satu alat yan...