Hukum Memakan Labi-Labi dalam Islam
Labi-labi adalah hewan air yang termasuk dalam keluarga penyu dan umumnya hidup di daerah perairan tawar seperti sungai dan danau. Dalam kajian fikih, hukum memakan labi-labi menjadi topik yang cukup sering dibahas.
1. Pandangan Ulama tentang Labi-Labi
Sebagian ulama menganggap labi-labi sebagai hewan yang boleh dimakan (halal), karena mereka termasuk hewan air, yang dalam banyak pandangan fiqh, hewan air halal dimakan. Namun, ada perbedaan pendapat yang merujuk pada jenis hewan dan kebiasaannya. Ulama yang mengharamkan memakan labi-labi biasanya berpendapat bahwa hewan ini termasuk dalam kategori hewan yang kotor atau hewan yang hidup di dua alam (darat dan air), yang menimbulkan keraguan dalam hukumnya.
Pendapat tentang halal atau haramnya labi-labi didasarkan pada analisis apakah hewan tersebut tergolong sebagai hewan air murni atau amfibi, dan apakah sifat dari hewan tersebut termasuk dalam kategori yang dilarang dimakan dalam Islam.
2. Dalil dan Rujukan Syariah
Beberapa dalil yang sering menjadi rujukan adalah hadits yang menjelaskan bahwa hewan yang hidup di air umumnya halal dimakan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
"Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang..." (HR. Ibnu Majah)
Meskipun demikian, beberapa ulama tetap berhati-hati terkait spesifik jenis hewan air, termasuk labi-labi, karena ada hewan yang hidup di dua alam (darat dan air) yang dianggap tidak murni hewan air.
3. Pandangan Mazhab
Dalam mazhab Syafi’i dan Hanafi, memakan labi-labi umumnya tidak diperbolehkan, karena dianggap sebagai hewan yang kotor atau makruh. Mereka mendasarkan hal ini pada sifat labi-labi yang dapat hidup di dua alam, yang menimbulkan keraguan dalam status halal haramnya. Sementara dalam mazhab Maliki, hewan yang hidup di air, termasuk labi-labi, dianggap halal selama tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya.
4. Kesimpulan
Hukum memakan labi-labi masih menjadi topik yang diperdebatkan di kalangan ulama. Sebagian menganggapnya halal dengan syarat ia dianggap sebagai hewan air, sementara lainnya berhati-hati dan menganggapnya makruh atau haram karena sifat amfibi dari hewan ini. Bagi umat Muslim yang ragu, sebaiknya mengikuti panduan dari ulama yang mereka ikuti atau lebih memilih untuk menjauhinya sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam mengonsumsi makanan.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir, teman-teman.
Sampai baca lagi di lain tulisan!
Sumber Referensi:
- Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
- Ibnu Qudamah, Al-Mughni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kolom Kritik dan Saran: