Senin, 21 April 2025

Wali Majdub: Sebenarnya Ada Atau Hanya Karangan?

 

Wali Majdub: Sosok Wali Allah yang Tak Terpahami Akal Duniawi

Pendahuluan

Dalam tradisi tasawuf Islam, ada berbagai tingkatan kewalian (wilayah), dan salah satu yang paling misterius serta sering menimbulkan perdebatan adalah sosok yang dikenal sebagai Wali Majdub. Wali jenis ini merupakan tokoh spiritual yang mengalami penyatuan (fana) dengan Tuhan secara intens, sehingga terkadang perilaku lahiriah mereka tidak sesuai dengan norma sosial yang umum, bahkan dianggap “gila” oleh orang awam.

Namun dalam perspektif sufistik, Wali Majdub justru berada dalam kedekatan yang sangat tinggi dengan Allah SWT. Artikel ini akan mengulas secara lengkap siapa itu Wali Majdub, karakteristiknya, bagaimana mereka dipandang dalam tasawuf, serta contoh-contoh dalam sejarah Islam.


Makna dan Asal-Usul Istilah "Majdub"

Kata "Majdūb" berasal dari bahasa Arab مَجْذُوب yang berarti "yang ditarik". Dalam konteks spiritual, Wali Majdub adalah seseorang yang ditarik secara langsung oleh Allah ke dalam cinta dan kedekatan Ilahi tanpa melalui proses latihan spiritual (riyadah) yang panjang sebagaimana dilakukan para salik (penempuh jalan sufi).

Majdub berasal dari akar kata jadzb (جذب) yang berarti "tarikan". Jadi, wali ini mengalami jadzbah, yaitu tarikan ilahiyah yang sangat kuat sehingga mereka "hanyut" dalam realitas ketuhanan dan kehilangan kesadaran terhadap dunia sekitarnya.


Perbedaan Antara Wali Salik dan Wali Majdub

KategoriWali SalikWali Majdub
Jalur SpiritualitasMelalui latihan riyadah, dzikir, syariat, mujahadahDitarik langsung oleh Allah tanpa riyadah panjang
Kesadaran SosialTetap menjaga norma sosialKadang tidak sadar norma sosial
Fungsi LahiriahBisa jadi guru spiritual (mursyid)Biasanya tidak menjadi guru atau pembimbing
Pandangan AwamDihormati karena kesalehan lahir & batinSering disalahpahami sebagai orang gila

Karakteristik Wali Majdub

  1. Perilaku Aneh atau Tidak Wajar
    Mereka kadang bicara sendiri, tertawa atau menangis tanpa sebab, berjalan tanpa tujuan jelas, bahkan tidak sadar terhadap pakaiannya atau lingkungan sekitar.

  2. Kesadaran Ilahiyah Tinggi
    Meskipun tampak tidak sadar terhadap dunia, batin mereka sangat sadar terhadap kehadiran Allah. Mereka mengalami fana (melebur dalam kehadiran Tuhan) secara terus-menerus.

  3. Tidak Terikat Dunia
    Mereka tidak tertarik pada harta, jabatan, atau bahkan tidak peduli terhadap tubuh dan makanannya.

  4. Kemampuan Spiritual Tersembunyi
    Beberapa orang yang dekat dengan mereka kadang mengalami kejadian luar biasa (karamah), meskipun sang wali sendiri tidak menyadari atau menginginkan hal itu.

  5. Ujian dan Kecaman
    Karena penampilan dan perilakunya, banyak Wali Majdub mengalami hinaan, dipandang remeh, bahkan dianggap sesat oleh orang-orang awam.


Kedudukan Wali Majdub dalam Tasawuf

Menurut para sufi, terutama dalam tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah, Wali Majdub tetap memiliki derajat spiritual yang sangat tinggi meskipun tidak berfungsi sebagai pembimbing umat.

Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah dan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa jalan kewalian bisa berbeda-beda, dan jadzbah adalah salah satu bentuk limpahan anugerah (fadl) dari Allah yang tidak bisa diperoleh dengan usaha manusia semata.

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Majdub berada di antara kesempurnaan makrifat dan kehilangan akal lahiriah, seperti Musa ‘alaihi salam yang pingsan karena tak kuat melihat cahaya Allah (lihat QS. Al-A’raf: 143).


Contoh Wali Majdub dalam Sejarah

1. Uwais al-Qarni

Seorang tabi’in agung yang hidup di Yaman. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat mencintai Rasulullah meski tidak pernah bertemu langsung. Rasulullah bahkan menyebutnya sebagai penghuni langit. Ia sangat sederhana, dianggap "asing" oleh masyarakatnya, dan hidup dalam kesendirian.

2. Syekh Siti Jenar (kontroversial)

Di antara narasi-narasi sejarah, Siti Jenar sering dianggap sebagai tokoh yang mengalami penyatuan spiritual sehingga ucapan dan ajarannya sering disalahpahami sebagai menyimpang. Meskipun tidak semua sejarawan sepakat bahwa ia seorang Wali Majdub, kisahnya sering disandingkan dengan konsep jadzbah.

3. Majdub di Maroko dan Mesir

Di banyak negeri Islam seperti Maroko, Aljazair, dan Mesir, Wali Majdub dihormati dan dianggap sebagai “kekasih Tuhan tersembunyi”. Mereka dikenal dengan sebutan lokal seperti Bouhloul, Majzub, atau Darwish Majnun.


Pandangan Ulama terhadap Wali Majdub

  • Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menyebut bahwa ada wali yang jadzbah-nya begitu kuat sehingga tak mampu lagi berinteraksi dengan dunia. Ia menyebut mereka sebagai Ahl al-Ghaybah (Orang yang ghaib dari realitas dunia).

  • Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa "kegilaan" seorang wali bisa jadi adalah bentuk kewarasan hakiki karena mereka telah keluar dari tipu daya dunia.

  • Jalaluddin Rumi dalam puisi-puisinya menyebut orang-orang seperti ini sebagai "yang telah mabuk cinta Ilahi", yang hanya bisa dipahami oleh hati yang juga terbakar oleh cinta yang sama.


Wali Majdub dalam Konteks Sosial Modern

Sayangnya, di zaman modern, pemahaman terhadap Wali Majdub semakin memudar. Banyak dari mereka dianggap sebagai orang gila, tunawisma, atau pengemis, padahal dalam batin mereka mungkin menyimpan kedekatan dengan Sang Pencipta yang sangat dalam.

Penting bagi masyarakat untuk tidak mudah menghakimi seseorang berdasarkan penampilan lahiriah saja. Dalam hadits disebutkan:

"Berapakah banyak orang yang berpakaian compang-camping, berdebu, tidak diperhatikan manusia, tetapi jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan kabulkan."
(HR. Muslim)


Kesimpulan

Wali Majdub adalah fenomena spiritual yang luar biasa dalam dunia tasawuf. Mereka mungkin tak dikenal oleh masyarakat, namun dekat dengan Allah SWT. Mereka adalah cermin dari cinta ilahi yang meluap hingga tak tertampung oleh nalar manusia biasa.

Mengetahui tentang Wali Majdub mengajarkan kita untuk lebih bijaksana dalam menilai manusia, serta membuka diri terhadap luasnya rahmat dan jalan yang Allah pilih bagi hamba-hamba-Nya.


Referensi dan Bacaan Lanjutan

  1. Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi 'Ilm al-Tasawwuf

  2. Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din

  3. Ibn Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah

  4. Martin Lings, What is Sufism, The Islamic Texts Society

  5. Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam

  6. Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar

  7. Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays, SUNY Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kolom Kritik dan Saran:

Bagaimana Cara Kereta Putar Balik?

  Turntable Kereta Api: Inovasi dalam Pemeliharaan dan Pengoperasian Kereta Api Pendahuluan Turntable kereta api adalah salah satu alat yan...